• ZI
  • header
  • BANTU KAMI

Selamat Datang di Website MADRASAH ALIYAH NEGERI 1 HULU SUNGAI UTARA. Terima Kasih Kunjungannya

Pencarian

Kontak Kami


MADRASAH ALIYAH NEGERI 1 HULU SUNGAI UTARA

NPSN : 30315549

Jalan Empu Jatmika No.211 Sei.Malang, Amuntai, Kab.Hulu Sungai Utara


info@man1hsu.sch.id

TLP : 052761009


          

Prestasi Siswa


HAB KEMENAG KE-77 2

HIRIYADI JUARA II CABANG LOMBA TENIS MEJA PUTRA TK MA



:: Selengkapnya

Banner

Jajak Pendapat

Bagaimana pendapat anda mengenai web sekolah kami ?
Sangat bagus
Bagus
Kurang Bagus
  Lihat

Statistik


Total Hits : 72749
Pengunjung : 28694
Hari ini : 12
Hits hari ini : 72
Member Online : 4
IP : 44.192.79.149
Proxy : -
Browser : Opera Mini

Status Member

  • SHA’DILLA AM (Siswa)
    2020-07-21 10:11:29

    bingun n
  • SHA’DILLA AM (Siswa)
    2020-07-21 09:56:13

    bingung
  • Ana Ariyani, S.Pd (Guru)
    2020-07-21 09:55:08

    ayo kita belajar
  • Adi Rahman, S. Pd (Guru)
    2020-07-21 09:26:41

    Mari belajar,,,

Bagaimana Muslim Berpancasila




Dalam Rangka Hari Lahir Pancasila, 1 Juni

Hidup sebagai muslim di negara yang berideologikan Pancasila ini sejatinya tentu tak ada masalah. Seluruh sila yang ada padanya selaras dengan--jika tidak ingin disebut diinspirasi oleh--nilai-nilai ajaran Islam. 

Betapa tidak? Delapan dari sembilan orang Panitia Sembilan yang merumuskannya pada 22 Juni 1945 adalah muslim. Sementara pengusul istilah Pancasila, yang diterima Sidang BPUPKI pada 1 Juni, Soekarno (apapun basis ideologi dan politiknya) juga seorang muslim.

Adalah fakta sejarah pula, sila pertama hasil rumusan para founding father yang dikenal dengan istilah Piagam Jakarta itu, secara eksplisit menyebutkan: "Ketuhanan dengan menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya."(1)

Bahwa kemudian dinamika politik di fase awal republik menyebabkan 7 kata pada sila pertama diganti dengan "Yang Maha Esa",  itu tak mengubah substansi pesan katauhidan kaum muslim. Bukankah bunyi ayat pertama surah Al Ikhlas di dalam Al-Qur'an senada dengan itu? (2)

 

 

Dengan redaksi baru tersebut, Pancasila kemudian lebih memiliki daya akomodatif terhadap penganut agama lain. Ini penting, mengingat mereka--sekalipun minoritas--faktanya adalah bagian integral dari bangsa Indonesia. Bung Hatta dalam memoirnya "Sekitar Proklamasi" menceritakan kronologi peristiwa tersebut.(3)

 

 

Selain menegaskan aspek religiusitas bangsa Indonesia, Pancasila secara substantif sebenarnya juga mengadopsi ideologi lain seperti humanisme, nasionalisme, demokrasi, dan sosialisme. Kendati demikian, "hasil adopsi" itu dapat pula dicari kesesuaiannya dalam ajaran Islam (Qur'an, Hadist, dan Ijma--bukan ijtima--Ulama), semisal komitmen pada nilai kemanusiaan, kesetaraan, keadilan, musyawarah, dan kesetiaan pada tanah air.

Bertolak dari itu, maka Pancasila sejatinya relatif sah jika dipandang sebagai "panduan islami" dalam mengarungi kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Dalam konteks ini, Islam berarti bukan alternatif bagi ideologi Pancasila, melainkan justru sebagai penguat dan benteng baginya.

 

Bahwa pada tahap pelaksanaan masih jauh dari ideal, bukan berarti ini jadi alasan bahwa ia harus diganti dengan ideologi lain. Sebaliknya, justru menjadi tugas dan tanggungjawab kita sebagai muslim (dan saudara-saudara lain tentu) untuk terus-menerus berjuang memperbaikinya. Berdemo, apalagi menempuh jalan radikal atau bahkan ekstrim--semisal terorisme--untuk mengampanyekan ideologi lain cuma membuang energi. Betapa tidak? Bukankah sebagai konsekuensi dari itu sesama anak bangsa jadi saling berhadapan, di mana dalam banyak kasus justru terlihat sebagai panggung pertarungan antara sesama muslim juga?

 Akan lebih produktif andai energi itu dimaksimalkan pada upaya peningkatan kualitas umat di bidang sosial, ekonomi, pendidikan, dan lain-lain. Dalam hal ini, kita umat Islam harus diakui masih banyak tertinggal. Untuk kerja-kerja di basis kultural semacam ini, Ormas Islam seperti NU dan Muhamadiyah menjadi role model bagi yang lain.

Bijak dan Proporsional Dalam Ekspresi Keagamaan

Masih seringnya pengerahan massa, yang kadang anarkis dalam mengusung agenda tertentu, sebenarnya memperlihatkan bahwa kita masih mengandalkan kuantitas (keunggulan jumlah) ketimbang kualitas. Pun, pola gerakan semacam ini sebetulnya hanya menemukan rasionalisasinya manakala ia dipandang sebagai "ekses alamiah" dari sistem autoritarianistik. Kenapa, karena dalam situasi itu saluran-saluran aspirasi formal tentu mampet atau dimampetkan sebagai komunikasi politik. Bangsa ini pernah mengalaminya pada masa Orde Lama dan Orde Baru.

Berbeda halnya dengan saat ini yang merupakan era keterbukaan. Kita, muslim, dituntut harus terampil dalam memainkan instrumen-instrumen demokrasi. Ini penting, agar dapat memperoleh manfaat sebesar-besarnya dari iklim kebebasan yang dituai dari hasil reinterpretasi Pancasila dan Amandemen UUD'45 pasca runtuhnya Orde Baru. Bahwa umat lain juga bisa leluasa berupaya mendapatkan manfaat sebesar-sebesarnya dari "ideologi islami" tersebut, maka ini sejalan dengan watak Islam itu sendiri sebagai "rahmatan lil alamin".(4)

 

Dari persfektif egalitarian Islam, demokrasi yang telah berjalan 24 tahun ini merupakan anugerah hebat, dan patut disyukuri. Betapa tidak? Dengan segala pasang-surutnya, demokrasi telah memperlihatkan kesanggupan dalam memperlakukan tiap-tiap warga negara secara setara untuk tampil di pucuk kepemimpinan. Hingga saat ini, demokrasi Indonesia telah melahirkan presiden dengan ragam latar belakang. Ada teknokrat, ada ulama, ada pengusaha meubel. Ada sipil, ada militer. Ada perempuan, ada laki-laki. Ada yang dari trah elit, tapi ada juga dari keluarga wong cilik. Sementara dari segi suku, demokrasi pernah pula menghadiahi bangsa ini presiden dari suku Bugis. Tidak melulu orang Jawa.

 

Dalam kehidupan bernegara, seorang muslim sebagaimana warga negara lain tentu punya hak dan kewajiban yang sama di depan hukum. Cuma pada bidang-bidang tertentu, seperti tata aturan perkawinan, warisan, haji, zakat, atau perbankan syariah, umat Islam memang disediakan perundang-undangan khusus (pengejawantahan sila pertama Piagam Jakarta?). Meski begitu, kita tidak bisa menuntut pengistimewaan di hadapan hukum publik. Suka atau tidak, demikianlah konsekuensi hidup berpancasila yang harus berkeadilan.

 Dalam situasi itu, umat harus mampu berlaku serasional mungkin dalam menyikapi berbagai fenomena hukum. Semisal, ada ustadz yang ditangkap karena terbukti melakukan ujaran kebencian, jangan buru-buru direspon dengan ekspresi keagamaan. Letakkan saja kasus tersebut secara proporsional, bahwa itu semata kasus biasa di dalam pelaksanaan hukum publik. Jangan lalu diframing misalnya sebagai kriminalisasi ulama. Yakinlah, perlakuan yang sama juga akan dikenakan kepada pendeta, rahib, biksu, dan pemuka agama lainnya andai mereka melakukan pelanggaran yang sama.

 Di ranah politik, kita muslim terkadang menemukan kompetitor hebat yang bisa saja berasal dari kalangan non muslim untuk kontestasi politik tertentu. Secara moral misalnya, ia telah membuktikan reputasi kepemimpinan yang jujur, tegas terhadap korupsi, serta profesional dalam penataan birokrasi. Apa yang kita lakukan mestinya berusaha menemukan kebaikan moral yang sama, yang berakar dari nilai-nilai agama yang dianut, untuk fight dengannya. Alih-alih terbungkus oleh panasnya simbol agama, Pemilu atau Pilkada akhirnya lebih terlihat elegan sebagai ajang kontestasi nilai universal. Dengan kondisi demikian "jago kita" terbuka kemungkinannya untuk didukung umat lain. Sebaliknya, harus ada kelapangan dada sekiranya ada "umat kita" yang mendukung jago lawan. Secara religius, fenomena tersebut dapat diletakkan sebagai bentuk kepatuhan akan perintahNya agar manusia berlomba-lomba dalam kebaikan(5). 

 Saya yakin saudara-saudara kita umat lain pasti tak keberatan, sebab Islam dalam konteks di atas tampil dalam wajah inklusifnya. Memang, akan selalu ada perbedaan secara teologis. Itu sebuah keniscayaan. Namun jika tak dapat bersatu dalam keyakinan, setidaknya kita masih bisa bersekutu dalam kebaikan.

Entah kapan kedewasaan politik semacam itu bisa terwujud. Sebab, yang terjadi di lapangan, umat masih sering ditampilkan dalam pola mobilisasi massa melalui agitasi yang menyulut emosi keagamaan untuk menjegal lawan politik.

Pola semacam itu mungkin membuahkan kemenangan taktis, tetapi tidak bersifat strategis. Jika kembali pada soal upaya peningkatan kualitas umat seperti disinggung di muka, maka sebenarnya inilah strategi untuk meraih kemenangan sejati. Sebab, sifatnya lebih berjangka panjang. Harusnya emosi keagamaan (marah, sedih, senang, geli) lebih dikelola ke arah sini. Tentang bagaimana kondisi sosial, ekonomi, dan pendidikan kebanyakan umat Islam yang faktanya masih jauh tertinggal dari umat lain. Lalu segala daya pun dikerahkan untuk membangkitkan mereka ke level lebih baik.

Tetapi ini ya pendapat saya saja. Di negara Pancasila ini, anda boleh setuju atau tidak, hehe... Salam.

*Tentang Penulis:https://norpikriadi.wordpress.com/perihal/

(1) Piagam Jakarta dengan segala konsekuensi sejarahnya tentu menarik jika ditulis sesuai momentumnya, 22 Juni nanti. 

(2) Al-Qur'an Surah Al-Ikhlas ayat 1: Katakanlah (Muhammad), “Dialah Allah, Yang Maha Esa”.

(3) Mohammad Hatta. 1969. Sekitar Proklamasi. Jakarta.

(4) Al-Qur'an  Surat al-Anbiya' ayat 107: ”Dan tiadalah kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam (rahmatan liralamin)” 

 (5) Al Qur'an surat Al Baqarah ayat 148: : "Dan setiap umat mempunyai kiblat yang dia menghadap kepadanya. Maka berlomba-lombalah kamu dalam kebaikan. Di mana saja kamu berada, pasti Allah akan mengumpulkan kamu semuanya. Sungguh, Allah Mahakuasa atas segala sesuatu."

 https://www.kompasiana.com/norpikriadi89642

https://norpikriadi.wordpress.com/

 

 

 

 

 

 




Share This Post To :

Kembali ke Atas

Artikel Lainnya :




Silahkan Isi Komentar dari tulisan artikel diatas :

Nama :

E-mail :

Komentar :

          

Kode :


 

Komentar :


   Kembali ke Atas