Memaknai Harkitnas

(Banjarmasin Post Selasa, 22 Mei 2007)
Oleh : Norpikriadi
Seremoni formal yang biasanya membalut peringatan Hari Kebangkitan Nasional (Harkitnas) pada setiap 20 Mei sesungguhnya dapat diselami lebih dalam agar kita bertemu dengan akar historisnya. Dari sana dapat dipetik maknanya yang hakiki untuk kemudian dijadikan sebagai salah satu alternatif jawaban atas kompleksnya problematika yang menghadang kita saat ini.
Berdirinya Budi Utomo (BU) 99 tahun lalu dipandang sebagai titik awal dari bangkitnya kesadaran bangsa atas nasibnya yang terjajah. Betapa pun ia lahir dengan mengusung nilai primordial kejawaan, namun BU harus diakui telah memelopori muncul dan menjamurnya ormas kebangsaan yang operasionalnya mengadopsi nilai-nilai Barat, simbol modernitas saat itu. Golongan terpelajar yang muncul sejak akhir abad ke-19 merupakan generasi yang telah keluar dari situasi traumatis, akibat kekalahan beruntun generasi-generasi sebelumnya.
Berbeda dengan masa sebelumnya, di mana Penjajah Belanda kebanyakan dilawan dengan senjata tradisional, maka sejak awal abad ke-20 dapat dikatakan bangsa Barat itu mulai dilawan dengan ‘senjata’-nya sendiri berupa putera-putera pribumi yang berpendidikan Barat. Seiring santernya berita kekalahan Rusia dari Jepang dalam Perang 1905, superioritas bangsa kulit putih mulai runtuh sebagai sebuah mitos. Tak mungkin membantah fakta, gerakan kebangsaan di negeri ini merupakan bagian dari kebangkitan Asia. Perlahan tapi pasti, negara kolonial yang dibangun di atas darah dan mesiu mulai guncang karenanya.
Jurang Sejarah
Belanda mungkin berpengalaman menipu Diponegoro dalam perundingan, menembak mati Teuku Umar dalam pertempuran, atau mengepung Antasari dalam hutan. Tetapi pengalaman itu rupanya tak cukup, sehingga mereka kebingungan ketika berhadapan dengan radikalisme yang diperlihatkan Douwes Dekker melalui Indische Partij-nya. Atau, tajamnya pena Suwardi Suryaningrat dalam artikelnya yang terkenal Als ik eens Nederlander was (Andai Aku Seorang Belanda). Sebuah tulisan berani yang mengangkat ironi, betapa tak tahu dirinya Pemerintah Kolonial Belanda ketika 100 tahun kemerdekaannya dari penjajahan Perancis justru dirayakan di tanah yang mereka jajah. Tak kalah bingung pula mereka menghadapi progresifitas HOS.Cokroaminoto dengan Sarekat Islamnya, lalu ada mobilisasi dan agitasi massa ala Soekarno atau keliaran aksi mogoknya Semaun.
Beragam langkah diambil Belanda untuk meredam maraknya aktivitas kaum pergerakan. Mulai langkah kompromis seperti pembentukan Volskraad (Dewan Rakyat) sampai tindakan keras berupa penangkapan dan pengasingan aktivis ke Digul atau luar negeri. Bahkan demi pulihnya sistem kolonialismenya di negeri ini, episode berdarah pun tak segan mereka pentaskan lagi di panggung revolusi fisik (1945-1949). Namun kita tahu klimaksnya, penguasa kolonial itulah yang terjungkal ke jurang sejarah. Kita pun merdeka.
Tetapi sungguh sayang. Kendati telah berganti baju, kekuasaan seringkali tampil dalam wajah tak ramah bahkan terhadap rakyatnya sendiri. Inilah yang ditakutkan Bung Hatta saat UUD 1945 dirancang dalam salah satu sidang BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia). Kata beliau: “Hendaklah kita memperhatikan syarat-syarat supaya negara yang kita bikin jangan menjadi Negara Kekuasaan….” Biarlah sejarah mencatat, kata Taufik Abdullah,* ketakutan Hatta itu kelak menjadi kenyataan ketika Soekarno menerapkan sistem Demokrasi Terpimpin yang kemudian dikenal sebagai masa Orde Lama (Orla).
Dengan ketiadaan pemilu yang diamanatkan konstitusi sebagai pengejawantahan kedaulatan rakyat, pembubaran parpol secara sepihak, pemenjaraan lawan politik tanpa proses pengadilan, pembungkaman pers dan pengekangan kebebasan berekspresi, maka Demokrasi Terpimpin tak lebih dari sebuah bentuk kediktatoran. Sementara sektor ekonomi tak serius ditangani sehingga rupiah akhirnya terjun bebas ke jurang inflasi. Rakyat yang tak punya beras harus pula mengantri minyak tanah. Tapi kita pun tahu antiklimaksnya. Penguasa Orla akhirnya juga terjungkal ke jurang sejarah. Jurang yang sama pula sebagai tempat bersemayam penguasa Orde Baru setelah mereka sempat begitu lama memanipulasi ideologi dan konstitusi negara demi langgeng dan terjaminnya kepentingan elit korup beserta kroni-kroninya di puncak kekuasaan.
Dari sana terlihat, bangsa ini ternyata selalu memiliki kesanggupan untuk bangkit setelah berkali-kali terpuruk di bawah sistem kekuasaan yang menindas. Jadi, sekiranya sekarang angka kemiskinan masih tinggi, jumlah pengangguran terus merambat naik, keselamatan bertransportasi kurang terjamin, atau dampak industri yang tak terantisipasi, maka harus ada kebesaran jiwa untuk melihat semua itu sebagai indikasi tentang masih banyaknya saudara sebangsa yang tertindas di sana… nun jauh di luar lingkar kekuasaan.
Sebagaimana kisah sukses pendahulu di tengah memuncaknya penderitaan rakyat karena kerja rodi dan tanam paksa pada masa kolonial, maka bangsa ini pun pasti sanggup melihatnya sebagai inspirasi untuk bangkit dari segala keterpurukan. Oleh karena itu, peringatan Harkitnas ke-99 ini hendaknya dijadikan pijakan serius bagi kita untuk bangkit kearah perbaikan dengan melakukan pembenahan di banyak bidang.
Jika tidak, bisa-bisa giliran kita yang akan terjungkal ke jurang sejarah.
https://norpikriadi.wordpress.com/
https://www.kompasiana.com/norpikriadi89642
Share This Post To :
Kembali ke Atas
Artikel Lainnya :
- Tanggapan Artikel Kepahlawanan Tak Boleh Mati
- Bagaimana Muslim Berpancasila
- Pendidikan Sebagai Investasi Jangka Panjang
- Apa Itu Pemanasan Global
- Keuntungan dan Manfaat menggunakan e-Learning bagi Guru dan Siswa
Silahkan Isi Komentar dari tulisan artikel diatas :
Komentar :
Kembali ke Atas